31.3.16

Menangis di Depan Anak

Setelah menjadi ibu, tuntutan untuk menata emosional dengan baik tentu lebih tinggi. Gimana juga kita akan jadi role modelnya anak. Salah satunya, aku selalu berusaha menyabarkan diri, walau sering fail. Karena aku ingin anak jadi anak yang penyabar dong.

Menjadi ibu yang perfect pernah menjadi tuntutanku di tahun awal memiliki anak. Tapi tentu saja ternyata tuntutan itu tidak pernah benar-benar terlaksana. Sungguh melelahkan bila hidup penuh tuntutan begitu. Rasa-rasanya dengan kondisiku apa adanya saja suami nggak protes, masak gara-gara anak terus aku berubah jadi orang lain? Ya, berusaha lebih baik itu harus. Tapi nggak harus jadi pribadi yang berbeda sama sekali kan? Katanya ibu yang baik harus lemah lembut, pinter masak, anggun, de el el. Wah, bisa stres aku kalau harus jaim dan manis begitu.


Okelah, kalau masalah itu suami juga nggak protes. Dengan kepribadianku yang rada kekanak-kanakan justru membuatku sangat menikmati bermain dengan anak. Menikmati imajinasi saat bermain pesawat terbang, mobil-mobilan, bahkan ribut membahas sebuah film anak-anak. Semua fun! Tapi, aku punya satu penyakit yang masih susah disembuhkan. Aku tuh gembeng alias gampang nangis. Mau senang mau sedih, ekspresinya bisa berujung dengan air mata *tsaah. Kenapa ya? Rasanya baru puas saja kalau sudah nangis.

Nah, suamiku termasuk yang nggak suka lihat orang nangis. Buat dia menangis itu cengeng. Padahal buatku menangis itu ungkapan emosi. Senang, sedih, maupun marah bisa diekspresikan dengan menangis. Susahnya kalau dalam kondisi aku sudah nggak tahan pengen nangis, tetapi ada anak. Jadi deh kadang aku berderai air mata di hadapan anakku. Parah banget kan? Bukan cuma malu rasanya nangis di depan anak. Tetapi juga karena aku khawatir anak tumbuh menjadi anak yang gampang menangis. Wong ibuku aja gampang nangis, masak aku nggak boleh?

Nah, pagi ini aku baca sebuah artikel. Katanya anak harus bisa memahami emosi di dalam dirinya dan mengekspresikannya. Dengan keadaan diriku yang selalu mengekspresikan emosi apa adanya, tanpa direkayasa, maka itu menjadi pelajaran juga buat anak.
Oke, ibunya memang gembeng. Tapi ibunya bukan wanita lemah yang cuma bisanya menangis dan mengeluh. Setelah menangis, ibunya bisa langsung tertawa ceria, setelah menangis kecewa, ibunya bisa langsung bangkit dan berjuang. Setelah menangis, all is well.


Berdosakah menangis di depan anak?

5 komentar:

Ima Satrianto | www.tamasyaku.com mengatakan...

Wah, untunglah belum pernah ngliat diba nangis mewek di depanku, hahahahaha..

Ardiba Sefrienda mengatakan...

Kemaren kan wis sempet mbrebes mili manda..haha..kl ada berbi ya bakalan malah ketawa..wkwk

Mbul Kecil mengatakan...

Bener banget hiks...kita sebagai wanita mau ga mau harus kuat secara mental dan emosi ya mb...

Arinta Adiningtyas mengatakan...

engga dosa Mak.. hehe.. manusiawi lah. aku pernah melakukannya, dan hasilnya aku dan anakku menangis bersama. kebetulan aku dan Amay orangnya emang sensian. :V

beyourselfwoman mengatakan...

Bapakku kayak gitu juga, nggak suka lihat orang nangis. Tapi anak2ku tak biasakan melihat segala ekpresi supaya punya empati lebih baik. Kalau aku sedih, aku nangis depan mrk. Tp tentu utk perkara yg mrk bisa pahami saja. Perkara orang dewasa tetep disimpen.